Cerpen: Young and Beautiful (3)
Cerpen: Young and Beautiful (3) ditulis oleh: Meylani.Aryanti. Niki muncul di depan kamarku pukul empat sore. Aku sempat kebingungan melihat kedatangannya itu sebab aku merasa nggak ada janji membuat tug...
Estimasi waktu baca artikel ini adalah: . Selamat Membaca..
Niki muncul di depan kamarku pukul empat sore. Aku sempat kebingungan melihat kedatangannya itu sebab aku merasa nggak ada janji membuat tugas sekolah dengannya.
Akan tetapi, kemudian aku tahu kenapa ia tiba-tiba mampir ke rumahku. Pasti ada hubungannya dengan Leon.
"Kenapa ya, dia?" tanya sahabatku itu sambil merebahkan diri di atas tempat tidurku.
source: pinterest |
"Dia" yang dimaksud Niki tentu saja adalah Leon. Memangnya siapa lagi? Sepertinya Loren sudah tersingkirkan dengan begitu mudahnya.
"Aku juga nggak tahu," jawabku sambil kembali menekuni koran lecek yang aku dapatkan di teras saat pulang sekolah tadi. "Bisa jadi kan, dia hanya sangat bersemangat soal pertandingan itu."
Koran yang aku pegang terbit seminggu yang lalu. Ada berita tentang kecelakaan bus di Magelang yang membuat 10 penumpangnya meninggal dunia. Tapi aku nggak sebegitu tertariknya pada berita itu. Sejak tadi, bahkan sebelum Niki datang, pikiranku sebenarnya masih mengulang-ulang kejadian di sekolah.
"Tapi bagaimana Leon bisa tahu nama kamu?" ujar Niki lagi. Ada nada cemburu dalam ucapannya itu.
"Aku..." Kata-kata yang ingin aku ungkapkan menghilang entah kemana. Apa yang mau aku katakan?
"Kamu udah ngomong sama Lusi?" tanya Niki tanpa peduli pada lanjutan ucapanku.
"Aku udah ngirim pesan ke Lusi. Dia bilang dia sendiri yang akan meliput acara itu."
"Alah, palingan dia cuma mau ngambil kesempatan!"
"Ngambil kesempatan apa?"
"Biar bisa deket sama Leon!"
"Nggak mungkin lah. Lusi mungkin masih takut ngasih aku tugas itu. Aku kan masih baru di tim jurnalistik."
Aku sebenarnya sedikit takut untuk datang ke pertandingan basket itu. Aku takut membayangkan akan ada kejutan apa lagi. Percakapan tadi siang dengan Leon saja sudah membuatku kepalaku berputar-putar nggak tentu arah.
Aku cukup tahu diri dengan kondisi fisikku yang nggak sempurna. Oke, aku memang nggak cacat atau apa! Tapi kalau sampai Leon ingin agar aku saja yang meliput acara basket itu, aku yakin ada sesuatu di balik itu semua. Sesuatu yang aku takutkan akan membuat mentalku ambruk. Masih ada cewek-cewek lain di tim jurnalistik yang lebih cantik. Lalu kenapa aku?
Yang lebih aneh lagi, bagaimana bisa Leon tahu namaku? Saat MOS saja cowok itu begitu sulit didekati. Dia selalu memasang jarak dengan anak-anak baru yang ditanganinya dan hanya berbicara seperlunya saja.
Dari yang aku perhatikan saat itu, Leon sepertinya lebih bersemangat saat berbicara dengan beberapa cewek yang penampilannya jelas-jelas bak model ibukota. Jadi ada apa denganku?
*****
Malam itu setelah selesai menikmati nasi Jinggo yang ibuku belikan, aku pergi ke rumah Loren. Selain ingin memberikan buah-buahan pada ibunya (ibuku berjualan buah di pasar), aku juga ingin mengatakan pada Loren soal kejadian dengan Leon. Siapa tahu saja, dia mempunyai pendapat yang bisa membuatku sedikit lebih tenang.
"Leon itu yang kayak singa ya?" ucap Loren saat aku selesai bercerita.
Aku menghembuskan napas keras-keras. "Apanya yang mirip singa?"
"Aku bercanda, Laura! Gitu aja ngambek. Atau ini jangan-jangan karena kamu naksir Leon?"
"Enak aja. Aku nggak semudah itu naksir orang. Kalo kagum mungkin iya."
"Terus yang kamu harapkan dengan cerita ke aku apa?"
Kenapa dia mengajakku berbicara berputar-putar begini? Apa dia mau mengetes kesabaranku?
"Iya... aku pengen tahu pendapat kamu. Mau apa Leon sebenarnya?" ucapku putus asa. "Kamu kan cowok. Aku mau denger dari sudut pandang cowok."
"Mungkin dia naksir kamu!"
"Apa???" Aku berteriak lumayan kencang hingga membuat Loren tertawa terbahak-bahak. Tawa yang sama renyahnya dengan tawanya waktu itu.
"Kamu kenapa sih? Harusnya kamu seneng kan ada cowok sekeren Leon naksir sama kamu. Tapi kenapa kamu malah kayak ketakutan gitu?"
"Aku takut karena tahu diri aku nggak cantik kayak Mikhaela atau Shandy. Aku ingat cerita di film-film soal cowok keren yang bikin taruhan buat mendekati cewek aneh terus nanti kalo udah diterima cintanya bakal dibikin videonya buat disebarin kemana-mana."
"Gimana kalo ternyata si cowok beneran suka? Dan gimana kalo mereka bahagia selama lamanya?"
"Kamu ngomong apa sih? Aku kesini buat dapat pencerahan tapi kamu malah bikin aku tambah tersesat!"
"Kalo mau dapat pencerahan kamu harusnya bertapa di dalam goa!"
Aku menepuk jidatku dan segera bangkit untuk pulang. Loren mengikutiku hingga ke depan pintu gerbang dimana motorku di parkir.
"Besok kamu kesini lagi ya? Aku mau minta bantuan buat tugas bahasa Indonesia," pinta Loren.
"Kapan sih aku pernah nolak?"
"Nolak apa Laura?" Sebuah suara muncul dari balik pohon besar di dekat kami.
Aku dan Loren berbalik hampir bersamaan. Disana, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Mikhaela berdiri dengan begitu seksi. Dia pakai apa sih kok selalu bisa terlihat seperti itu?
"Kamu ngapain disini, Mikha?" tanyaku.
"Nggak boleh aku ada disini?" Mikhaela seperti ingin menantangku.
Aku mulai ketakutan sampai menjatuhkan kunci motorku. Loren yang mengambilkan benda itu untukku.
"Palingan dia lagi tersesat, Laura. Kamu hati-hati di jalan ya!" Loren menepuk-nepuk punggungku.
Loren sudah akan masuk ke dalam rumahnya ketika Mikhaela mengucapkan kata-kata yang membuatku enggan untuk pulang.
"Kita belum selesai, Ren!" ucapnya. "Kamu nggak bisa pergi gitu aja."
"Kita bahkan nggak pernah mulai apa-apa. Jadi gimana bisa ada penyelesaian?!"
Aku belum pernah mendengar Loren berkata dengan nada kasar seperti itu. Denganku, ia selalu sopan dan bahkan aku sering merasa Loren ingin membuatku tertawa.
Karena merasa risih berada diantara dua arus yang sepertinya akan bertemu, aku memutuskan untuk kabur secepat mungkin. Aku bukannya bermaksud menjelek-jelekkan Niki. Namun bila ia yang ada di posisiku, aku yakin dia nggak bakal pergi. Niki pasti akan tetap tinggal agar bisa tahu kelanjutan kisah antara Loren dan Mikhaela.
Aku memang penasaran. Sangat penasaran malah. Hanya saja, hati kecilku bersuara lebih kuat dan memerintahkan agar aku menunggu hingga Loren sendiri yang bercerita. Meski aku nggak punya bagian tubuh yang bisa aku banggakan, setidaknya aku punya rasa persahabatan yang akan membuat nyaman orang-orang di sekitarku.
*****
Edisi terbaru Mading SMA 18 Denpasar sudah terpasang. Semua artikel yang kami susun sejak dua Minggu lalu sudah tertata rapi di tempatnya masing-masing.
Yang membuatku bangga adalah karikatur yang aku buat tentang sindiran terhadap siswa-siswa yang suka membolos terlihat sangat cantik di pojok bawah Mading. Aku selalu suka membuat karikatur. Sebenarnya sih, aku selalu suka menggambar apa saja. Menghubungkan antara satu garis dengan garis yang lainnya yang kemudian membentuk sesuatu, memberiku sensasi bahwa hidupku begitu indah. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa aku pamerkan ke orang lain dan aku berani bersaing dengan siapa saja bila sudah berhubungan dengan membuat gambar.
"Semua ketua kelas udah dikasi tahu kan soal kuis ini?" tanya Lusi pada Niki.
"Udah dong, Lus," jawab Niki bersemangat. "Aku juga udah pastikan mereka mengumumkannya di kelas masing-masing."
Lusi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga sama nampak bangganya melihat hasil karyanya berupa kotak dari karton bekas yang dihias sedemikian rupa untuk menampung jawaban kuis yang kami gelar.
Pertanyaan kuis itu gampang. Ada tiga soal yang harus di jawab peserta kuis dan jawaban dari ketiga soal itu bisa ditemukan dari artikel-artikel yang ada di Mading. Peserta hanya tinggal menuliskannya di selembar kertas, menyertakan nama lengkap dan kelas lalu memasukkannya ke dalam kotak yang sudah disediakan.
Pemenang kuis ini akan diumumkan dua Minggu mendatang ketika Mading edisi terbaru terbit. Akan dipilih tiga orang pemenang dengan hadiah uang masing-masing lima puluh ribu rupiah.
Kami bertujuh masih berdiri di depan Mading, mengagumi karya kami ketika sebuah suara membuyarkan lamunan kami.
"Hebat ya kamu, Laura," kata Mikhaela yang lagi-lagi datang bagaikan roh halus. "Dengan tampang kayak gitu, dua cowok bisa kamu buat takluk. Kamu pakai ilmu apa?"
Aku melihat Lusi menganga memandangi wajah cantik Mikhaela. Sedangkan Niki dan yang lainnya sibuk menantikan reaksi apa yang akan aku berikan.
"Maksud kamu apa, Mikha?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Aku adalah tipikal orang yang sangat menghindari konfrontasi. Sebagus apapun kondisiku atau secemerlang apapun ide di dalam kepalaku, aku nggak akan pernah mau berhadapan satu lawan satu dengan seseorang. Siapapun itu.
Keringat dingin mulai mengalir di leherku. Detak jantungku bahkan sudah berdentum-dentum sejak mendengar kata-kata pertama Mikhaela.
"Jangan pura-pura bego deh," ujar Mikha lagi. "Aku nggak tahu kamu lagi merencanakan apa. Tapi please, jauhin Loren! Dia milik aku!"
"Sejak kapan kamu pacaran sama Loren?" Niki bersuara tegas seolah-olah ingin menantang berkelahi Mikhaela.
"Kamu jangan ikutan ya!" Mikhaela terlihat marah.
"Kamu belum jawab pertanyaan dia!" Bahkan Lusi juga ikut angkat bicara.
"Kalian ini..." Mikhaela kehabisan kata-kata. Dia hanya menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah kami bertujuh lalu kabur begitu saja.
"Dia mau apa sebenarnya?" tanya Lusi saat kami sudah kembali ke ruang Mading.
Aku nggak sempat memikirkan apa yang diinginkan Mikhaela dari diriku. Justru sikap teman-temanku tadi yang membelaku sedemikian rupa membuat dadaku penuh sesak. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku dan bersiap jatuh kalau saja Niki nggak segera mengambilkan tisu.
"Yaelah! Pake nangis segala!" teriak Niki.
"Iya, nih Ra, masa sama Mikhaela aja kamu takut!" sembur Lusi.
Aku mengelap kedua mataku. "Aku bukannya nangis karena takut sama Mikha. Tapi karena sikap kalian tadi... Sumpah, seumur hidup baru kali ini ada yang ngebela aku kayak gitu!"
Aku hampir kembali menangis. Akan tetapi, tawa yang meledak diantara anak-anak Mading, sahabat-sahabat sejatiku, membuatku batal menitikkan air mata dan malah ikut tertawa.
"Sebelumnya kamu tinggal di hutan ya, sampe-sampe nggak pernah ada yang ngebela kamu?!" celetuk Niki lagi.
"Kalo di hutan harusnya ada Tarzan yang belain kan!" imbuh Lusi.
Kami semua kembali tertawa.
*****
"Ra, menurut kamu, waktu ngelabrak kamu itu, kenapa ya, Mikha cuma sendirian aja?" tanya Niki sambil tetap mencatat di bukunya. "Kemana ya, Shandy?"
Pagi ini kami mendapatkan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tetapi karena ada rapat yang harus dihadiri Pak Surya di Dinas Pendidikan, maka kami hanya ditugaskan untuk mencatat materi tentang kalimat langsung dan tidak langsung.
"Aku nggak tahu, Nik," jawabku lalu berhenti menulis. "Kayaknya aku udah lama nggak lihat mereka jalan bareng."
"Iya juga ya. Wah, kayaknya mereka udah pecah kongsi tuh!"
"Bisa jadi. Waktu Mikha memergoki aku dan Loren di perpustakaan, dia sendiri. Kemarenan Mikha juga sendirian pas dia nongol tiba-tiba di rumah Loren."
Niki berhenti menulis. "Mikha nongol mendadak di rumah Loren?"
Aku mengangguk. "Bahkan dia kayak hantu aja, datang tiba-tiba dari balik pohon besar."
Ponselku tiba-tiba bergetar. Ada sebuah pesan masuk. Dari Loren.
Loren: ntr pas jam istirahat pertama aku tunggu di perpustakaan ya?! Harus datang!!!
Apa-apaan cowok ini? Pakai ancaman segala!
Aku: sippppppppp
Tanpa aku sadari, Niki ternyata membaca pesan yang aku terima dari Loren.
"Cieeee, yang mau kencan!" katanya sambil cekikikan nggak jelas.
Kalimat singkat yang dilontarkan sahabatku itu langsung membuat jantungku berdebar dan sensasi kupu-kupu terbang di perutku juga muncul. Ada apa lagi ini???
Terimakasih telah membaca Cerpen: Young and Beautiful (3), jangan lupa tinggalkan reaksi & komentar kalian di bawah ini. Jika kalian suka dengan artikel ini, support penulis dengan cara share artikel ini ke sosmed kalian 😊
Written by,
Meylani.Aryanti
Tidak ada komentar