Cerpen: Young and Beautiful (2)
Cerpen: Young and Beautiful (2) ditulis oleh: Meylani.Aryanti. Loren tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapanku tentang apa yang terjadi di sekolah kemarin siang. Padahal aku hanya bilang, "B...
Estimasi waktu baca artikel ini adalah: . Selamat Membaca..
Loren tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapanku tentang apa yang terjadi di sekolah kemarin siang. Padahal aku hanya bilang, "Bisa-bisa semua orang berfokus pada pipi tembamku."
Karena cowok itu masih belum juga berhenti tertawa, maka aku segera membereskan buku-buku yang aku bawa ke rumahnya. Rasanya lebih baik aku pulang saja. Buat apa berada bersamanya kalau dia cuma bisa menertawakanku?
source: pinterest |
Seperti biasa, hari ini aku juga masih harus membantunya belajar. Sebenarnya apa sih yang terjadi pada Loren sehingga memahami materi pelajaran menjadi sangat sulit buatnya?
Melihat apa yang aku lakukan, ia segera berhenti tertawa dan berkata, "Eh, tunggu-tunggu. Kamu mau kemana? Aku kan belum selesai belajar. Masih ada tugas fisika yang belum tuntas."
"Aku kira kamu mau terus tertawa dan bukannya belajar!"
Sumpah. Kejadian di perpustakaan kemarin sangatlah di luar dugaan. Mikhaela yang entah bagaimana bisa ada disana, melihat aku dan Loren berduaan. Saking gugupnya, aku bahkan sampai menjatuhkan buku catatan The Avengers itu.
Aku masih ingat ketika Mikhaela muncul seluruh tubuhku rasanya seperti membatu. Kata-kata yang seharusnya bisa dengan mudah keluar untuk menjawab pertanyaan sederhana cewek itu menguap entah kemana.
Loren-lah yang membereskan semuanya. Dia nggak mengatakan apa-apa dan langsung menarik tanganku keluar dari perpustakaan. Tapi aku sadar bahwa perbuatannya itu bukan hal bagus. Semua mata yang berkeliaran di halaman sekolah saat jam istirahat pertama, praktis memandangi kami berdua yang keluar perpustakaan sambil bergandengan tangan.
Musibah yang bahkan lebih buruk dari gempa bumi.
"Jadi kamu takut bakal dibully sama anak-anak?" tanya Loren membuyarkan lamunanku.
"Aku selama ini selalu berusaha bersembunyi dan hanya ikut kegiatan jurnalistik agar nggak menjadi pusat perhatian. Gimana kalo aku sampai dibuatkan meme gara-gara pipiku ini?!" ujarku sambil kembali mengeluarkan buku-bukuku dari dalam tas.
Kegiatan yang sebenarnya sangat nggak berguna. Kenapa coba tadi aku harus ngambek? Bisa saja kan aku meminta solusi dari Loren untuk calon masalahku ini?!
"Memangnya pipi kamu kenapa?" Loren mengeluarkan buku catatan dari laci di meja belajarnya. Harus aku akui, meja belajarnya sangat bagus. Dari dulu aku selalu ingin mempunyai meja belajar seperti itu. Meja belajar yang ada laci, rak buku dan lemari kecil di sampingnya.
Selama ini, aku hanya belajar dengan meja kecil yang dulunya dipakai pamanku jualan ayam goreng lesehan.
"Aku nggak pede sama bentuk badanku terutama pipiku!" kataku. "Gimana kalo nanti aku diejek sama orang seantero sekolah?!"
"Sebelum ini siapa yang pernah mengejekmu?"
Aku mulai memikirkan orang-orang yang pernah mengejekku dan mempunyai potensi untuk mengejekku.
"Dulu pas SMP ada cowok yang suka bilang aku gendut kayak babi," ucapku.
"Sekarang dia kelas apa?"
"Dia nggak sekolah di tempat kita."
"Kalo dia nggak sekolah di SMA 18 Denpasar, ngapain kamu jadi takut gitu?"
"Ya, tapi kan ada orang-orang kayak Shandy atau Mikhaela yang bakal mengejekku."
Loren menghembuskan napasnya keras-keras. Dia terlihat sangat nggak sabaran. Entah ada apa dengan cowok itu.
"Mereka berdua kan belum mengejekmu, Laura!" kata Loren. "Nggak ada alasan buatmu untuk ketakutan begini."
Loren benar. Shandy dan Mikhaela belum pernah melontarkan ejekan apapun untukku. Shandy mungkin terkadang bersikap mengintimidasi tapi dari mulutnya belum pernah terlontar satu ejekan pun.
"Lagian kamu itu imut, Laura!" Loren menggeser buku catatan fisika miliknya ke arahku.
Apa??? Aku imut??? Apa dia nggak bisa memilih kata yang lain untuk menggambarkan diriku. Imut seolah-olah membuatku tampak sejajar dengan bayi-bayi di ruang perawatan yang baru saja lahir. Aku ini sudah remaja. Seharusnya Loren memilih kata yang benar-benar mewakili diriku. Seksi, misalnya.
"Kamu kenapa lagi?" tanya Loren. "Wajahmu kenapa cemberut begitu?"
"Nggak ada!" jawabku. "Lanjut aja belajar sekarang!"
*****
Sudah dua hari satu malam aku hilang kontak dengan Niki. Sejak berita tentang aku dan Loren yang keluar perpustakaan sambil bergandengan tangan tersebar di seluruh sekolah, ia hanya meninggalkanku dengan sebuah pertanyaan.
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalo kamu deket sama Loren?"
Sisa Sabtu siang itu Niki habiskan dengan mendiamkan diriku. Saat semua teman di kelas mengerubungiku untuk bertanya ini itu soal Loren, dia hanya diam dan pura-pura membaca buku pelajaran.
Padahal aku tahu, dia pasti ingin sekali ikut nimbrung dan bergosip seperti kebiasaannya selama ini.
Pagi ini aku berharap Niki sudah mau bersikap wajar padaku. Aku ingin mendapatkan sahabatku kembali agar aku nggak kesepian saat upacara bendera nanti.
Apa yang aku harapkan ternyata menjadi kenyataan. Niki yang masuk ke ruang kelas beberapa menit setelah aku duduk, memulai percakapan yang aku tunggu-tunggu sejak Sabtu lalu.
"Sorry ya, Ra," ucapnya. "Aku sedikit keterlaluan. Aku cuma ngerasa nggak dianggap aja."
"Aku juga minta maaf, Nik. Aku nggak punya maksud apa-apa. Kamu tahu sendiri kan, popularitas Loren kayak apa?"
Niki sama sekali nggak memedulikan perkataanku dan langsung memenuhi hasratnya untuk mengetahui semua hal tentang Loren. Aku bahkan nggak melihat sisa rasa marah yang dia tunjukkan padaku pada Sabtu itu atau rasa malu yang dia pasang di wajahnya ketika masuk ke dalam kelas tadi.
Niki sudah kembali padaku.
*****
Loren benar. Apapun yang aku takutkan kemarin di rumahnya sama sekali nggak terjadi di sekolah. Teman-temanku bersikap seperti nggak ada yang terjadi di depan perpustakaan.
Aku dan Niki bisa dengan tenang menghabiskan waktu kami mengobrol di ruang Mading. Ada beberapa proyek yang rencananya akan kami buat untuk menarik minat para siswa di SMA 18 Denpasar agar mau rajin membaca Mading.
"Gimana kalo kita ngadain kuis?" usul Niki. "Terus kasih hadiah. Yah, nggak usah gede-gedean."
"Kalo mau gitu, kita juga bisa nyari sponsor kok," ujar Lusi, anak kelas XI IPS yang juga merupakan ketua Mading SMA 18 Denpasar.
"Kuisnya apaan dong kalo gitu?" tanyaku.
Kami semua terdiam. Ada tujuh orang yang menjadi anggota Mading sekolah. Dari ketujuh orang itu, hanya aku dan Niki yang duduk di kelas yang sama.
"Kita kasih aja pertanyaan. Nggak perlu yang susah. Nanti pemenangnya kita cari lewat undian," Lusi memaparkan idenya yang selalu sederhana tapi luar biasa.
"Setuju!!!" Teriak kami berenam serempak.
Selesai rapat Mading kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebab nggak seperti tahun sebelumnya, ekstra kurikuler Mading diadakan langsung setelah jam pulang sekolah. Alasan Lusi sederhana yaitu agar anak-anak Mading nggak perlu bolak balik antara rumah dan sekolah.
Siang ini aku hanya bersyukur bahwa Lusi dan teman-teman Mading yang lain nggak mencecarku dengan pertanyaan tentang Loren.
Aku dan Niki asik bercakap-cakap menuju areal parkir sekolah tentang masa depan Mading sekolah ketika kami berdua melihat Leon, ketua tim basket SMA 18 Denpasar, berjalan dari arah yang berlawanan.
Leon, cowok gagah yang saat MOS dulu menjadi anggota panitia yang mendampingi kelasku. Niki dan seantero cewek di kelasku dan aku juga tentu saja, naksir padanya. Cowok itu sendiri sekarang susah duduk di kelas XII dan sebentar lagi akan pergi dari sekolah ini.
Sangat disayangkan. Tapi toh aku nggak bisa berbuat apa-apa agar mendapatkan perhatiannya. Aku sadar siapa diriku yang sebenarnya.
Dan hari ini, selain pembuktian bahwa perkataan Loren sangat benar, aku nggak tahu harus menyebutnya apa. Sebab, saat langkahku dan Niki semakin dekat dengan Leon, cowok itu malah sepertinya tersenyum ke arah kami berdua.
Aku dan Niki otomatis saling tatap. Apa yang ada di pikiran Niki pasti juga persis sama dengan pikiranku sendiri.
"Laura, kamu ikut tim jurnalis sekolah yang bakal ngeliput pertandingan persahabatan tim basket sekolah kita kan?" Leon menatapku dengan matanya yang bulat itu.
Aku memperhatikan cowok itu dengan tersenyum. Ada banyak hal yang segera melintas di kepalaku. Dan aku sadar, di sampingku, Niki memelototiku dengan tajam.
"Maaf, Kak. Lusi belum bilang apa-apa soal pertandingan itu. Tapi nanti aku tanyain ke dia ya," jawabku setenang mungkin.
Aku merasa jantungku akan copot. Namun aku lebih memedulikan semua pemikiran yang berkelebat di otakku. Apalagi setelah mendengar pernyataan Leon selanjutnya.
"Aku harap sih, kamu aja yang datang ngeliput ya... Sampai ketemu disana ya, Laura!" ucapnya dan berlalu dariku dan Niki.
Aku mematung dan Niki dengan ganasnya langsung menguncang-guncang bahuku. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan sebuah pertanyaan yang juga ada di kepalaku: ada apa sebenarnya ini?
Terimakasih telah membaca Cerpen: Young and Beautiful (2), jangan lupa tinggalkan reaksi & komentar kalian di bawah ini. Jika kalian suka dengan artikel ini, support penulis dengan cara share artikel ini ke sosmed kalian 😊
Written by,
Meylani.Aryanti
Akhirnya sempet baca lanjutannya... Wah bener kan nanti malah laura yg jadi rebutan loren sama leon.. 😁 bagaimana kabar Mikhaela nih gak kelihatan di part 2 ini.. mungkin lagi sibuk photoshoot hehe.. nama nama tokohnya dipenuhi huruf L laura loren lusi leon penggemar huruf L nih penulisnya.. 😂
BalasHapusLoren itu terinspirasi dari model video klip Blackpink yg Love Sick Girls 😁😁😁
Hapus